Haloha! Apa
kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan selamat. Anyway, beberapa
pekan terakhir banyak berita yang mengabarkan tentang bencana alam. Mostly didominasi
oleh bencana alam hasil aktivitas bawah permukaan bumi (gempa bumi). Tapi beberapa
daerah di Indonesia juga diberitakan sedang dilanda hidrometeorologis berupa banjir.
Selain karena intensitas curah hujan, faktor pendorong terjadinya banjir juga
beranekaragam.
Omong-omong
soal fenomena-fenomena hidrometeorologis, tentu sudah bukan hal baru buat kita.
Hampir semua orang tau bahwa akhir-akhir ini cuaca dan musim sulit diprediksi,
yang mana hal tersebut merupakan imbas secara langsung dari perubahan iklim. Petani
yang mengandalkan kalender musim untuk mengetahui masa tanam juga mulai kesulitan.
Dampaknya apa? Mereka semakin rentan secara ekonomi dan ekologis. Tidak hanya
petani, nelayan maupun masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pesisir juga
merasakan dampak akibat adanya perubahan iklim.
Kalau dipikir-pikir,
ketika kita bicara soal perubahan iklim, menurut teman-teman, siapa yang paling
rentan terdampak?
Saat ini banyak
negara di dunia yang sedang bertumbuhkembang pesat dalam hal industri, automatisasi,
dan teknologi yang juga sedikit banyak menyumbang emisi dan perubahan iklim. Sementara,
di saat yang bersamaan – mungkin juga di sekitar kita, ada petani yang menangis
karena gagal panen, ada nelayan yang tidak bisa memberikan akses pendidikan
kepada anaknya karena hasil tangkapan ikan mulai berkurang, dan ada keluarga di
sekitar wilayah pesisir yang mulai bingung hendak tinggal dimana karena
rumahnya mulai tergenang banjir rob setiap pasang melanda.
berita yang cukup viral beberapa waktu lalu, source: Kompas.com |
Sudah tentu,
non-privileged akan sangat rentan merasakan dampak dari adanya perubahan
iklim ini.
Dari hal
tersebut, maka muncul istilah Climate Justice, atau dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan “keadilan iklim”. Apa itu Climate Justice / Keadilan iklim?
Menurut MIT
Climate Portal, secara sederhana, keadilan iklim adalah prinsip bahwa manfaat
yang diperoleh dari kegiatan yang menyebabkan perubahan iklim maupun beban
dampak perubahan iklim harus didistribusikan secara adil.
Dalam
kacamata tatanan global, keadilan iklim berarti bahwa negara-negara yang
menjadi “kaya” melalui emisi karbon memiliki tanggung jawab besar untuk tidak
hanya menghentikan pemanasan global, tetapi juga membantu negara-negara lain
beradaptasi dengan perubahan iklim dan mengembangkan ekonomi dengan teknologi
tanpa polusi.
Keadilan
iklim juga menuntut keadilan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
lingkungan (environmental decision making). Prinsip ini memusatkan pada mereka
yang paling tidak bertanggung jawab dan mereka yang paling rentan terhadap
krisis iklim sebagai parameter pengambilan keputusan dalam rencana global dan
regional untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini juga berarti mengakui bahwa
perubahan iklim mengancam prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, yang
menyatakan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak yang sama,
termasuk atas pangan, air, dan sumber daya lain yang diperlukan untuk mendukung
penghidupan yang layak.
Saat ini lebih
banyak disebut sebagai keadilan iklim dibandingkan dengan aksi iklim, hal
tersebut berimplikasi pada pembuatan kebijakan, diplomasi, studi akademis dan
aktivisme, dengan memberikan perhatian pada bagaimana respons yang berbeda
terhadap perubahan iklim.
Hmm terdengar
sangat strategis, politis, dan berat ya untuk tatanan orang awam?
Terus,
kita-kita ini apakah bisa mendukung keadilan iklim? Jawabannya: BISA.
Salah satu
upaya untuk mendukung terciptanya keadilan iklim adalah dengan menjadi konsumen
yang sadar dan bijak (conscious consumers).
Apa itu conscious
consumers?
conscious consumers | sc: medium NH Staff
Sederhananya,
perilaku konsumen dalam membeli produk berdasarkan sejauh mana mereka peduli
terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Misal,
ketika memutuskan untuk belanja sayur dan buah. Kita akan memilih untuk belanja
sayur dan buah lokal yang ditanam oleh petani dan memanfaatkan sumberdaya lahan
di sekitar kita. Selain untuk memutar roda perekonomian lokal, secara tidak
langsung kita juga bisa mengurangi “rantai emisi” dari proses distribusi/transportasi
yang dipotong disini (karena beli dari hasil pertanian di sekitar, jadi petani
tidak perlu mendistribusikan dengan rantai panjang melalui berbagai moda
transportasi. Kitanya juga langsung bisa beli haappp di tempat, hemat pula! Hehe)
Atau,
ketika kita memutuskan ke mall, membeli pakaian (pada saat udah butuh banget
ya, bukan cuma karena laper mata hehe), kita bisa memilih tuh, produk mana yang
“bisa bercerita”: dari apa sih bahan pakaian ini, dihasilkannya melalui proses
yang seperti apa, dibuat oleh siapa, dan bagaimana komitmen keberlanjutannya (sustainability
commitment).
Saat ini,
banyak sekali produk-produk yang sudah “mampu bercerita”. Selain tanggungjawab
secara sosial dan lingkungan dari produsen, konsumen dunia saat ini juga sudah semakin
sadar dengan produk-produk yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan. Buktinya,
saat ini beberapa negara di dunia telah membuat peraturan terkait dengan responsible
sourcing untuk produk yang akan masuk atau yang akan mereka jual. Dan komitmen
ini bukan lagi hanya berlaku di satu pihak saja, melainkan mulai diterapkan di
berbagai pihak dan sektor.
Jadi, sudah
siap untuk berproses menjadi konsumen yang sadar dan bijak?
Yuk ceritakan
pengalaman atau rencanamu untuk mewujudkan keadilan iklim melalui conscious
consumer!
Ditunggu postingan bulan ini mbak 🤗
BalasHapus