Peran Penting Traceability Feedstock dalam Pengembangan Energi Biofuel yang Berkelanjutan
Hai hai hai, apakabar? Semoga sehat selalu yaa. Selamat datang di Blog Futuha, blog yang kadang bahas hal-hal unfaeda, tapi juga kadang bahas hal berfaeda. Dan tulisan ini adalah salah satunya hal yang berfaeda :D
By the way, temen-temen udah pernah denger
belum sih tentang transisi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar nabati?
Atau mungkin, sebelumnya temen-temen ketika mampir di SPBU ngeuh gak sih kalau
ada tulisan “biosolar” di salah satu stasiun pengisian bahan bakar?
Nah, sebelumnya, udah pada tau belum apa itu
biosolar/biofuel/biodiesel? Kalo berdasarkan definisinya, Biodiesel atau
disebut juga dengan biosolar merupakan bahan bakar alternatif berupa ester
metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang dihasilkan dari
bahan alami seperti dari kelapa sawit, jarak pagar, randu, kelapa, kecipir,
kelor, kusambi, nimba, kepoh, nyamplung, siur, bidaro, kemiri cina, maupun
lemak hewani. Bahan baku utama dari biodiesel di Indonesia saat ini yang
digunakan adalah minyak kelapa sawit (CPO).
Kebetulan banget nih, kemaren tanggal 12
November 2021, #EcoBloggerSquad ngadain online gathering bertajuk pengenalan
biofuel. Diisi oleh 2 pemateri yang luar biasa, Kak Kukuh dari Yayasan Madani
Berkelanjutan dan Kak Ricky dari Traction Energy Asia, materi ini gak hanya
berfokus pada apa itu biofuel, tapi juga ada penjelasan terkait “bener gak sih
biofuel itu BENERAN RAMAH LINGKUNGAN?”
((BENERAN))???
Kalau dilihat dari narasinya, Biofuel a.k Bahan
Bakar Nabati (BNN) digadang-gadang sebagai transisi energi dari bahan bakar
fosil karena dinilai lebih ramah lingkungan. Eits waittt! Apakah alasan
transisinya hanya itu saja?
Ternyata oh ternyata, hal ini lebih ditekankan
karena sektor migas di Indonesia yang terkait bahan bakar fosil mulai kesulitan
untuk surplus, bahkan sudah mengalami “nett importer”. Artinya, kita sendiri
tuh karena sebegitu butuhnya sampai harus mengimport. Kalau dari data
Kementerian ESDM, Indonesia bisa memproduksi 700ribu barel minyak bumi sehari,
namun kebutuhan kita mencapai 1,5 juta barel per hari.
Nah, untuk “mengamankan” nya maka perlu dilakukan
transisi energi. Dan salah satu upaya dalam pengembangan transisi energi ini
adalah dengan energi alternatif, yakni bahan bakar nabati (BBN)
Biodiesel di Indonesia dikembangkan
sejak tahun 2001 melalui Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Desain
(BTBRD) dan pada tahun 2006 ditetapkan Standart Nasional Indonesia (SNI) untuk
biodiesel (SNI 04-7182-2006)[1]. Program
mandatori biodiesel mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar
campuran biodiesel sebesar 2.5% dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 7,5%.
Pada periode 2011 hingga 2015 persentase biodiesel ditingkatkan menjadi 10%-15%
dan pada 1 Januari 2016 kadar biodiesel ditingkatkan hingga 20% atau yang
dikenal sebagai B20 (20% Biodiesel, 80% solar). Per September 2018 dilakukan
perluasan insentif biodiesel ke non-PSO (Public Service Obligation) serta
dilakukan penyusunan spek B100 untuk pengujian B30. Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian ESDM menggalakkan program mandatori bahan bakar nabati
(biodiesel) melalui Peraturan Menteri ESDM No 32 tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati.[2]
Kemudian, dalam perjalanannya, di tahun 2016,
energi alternatif BBN tidak hanya digunakan sebagai energy shifting namun juga
sebagai strategi komitmen iklim yang tertuang dalam NDC (Nationally Determined
Contribution). Mengapa demikian?
Berdasarkan data dari Kementrian ESDM tahun
2019, pemanfataan biodiesel hingga tahun 2018 telah berhasil menurunkan emisi
GRK sebesar 5,61 juta ton CO2. Hal ini berarati menjadi nilai positif dong ya,
karena jika dilihat dari sektor transportasi, BBN ini emisinya gak lebih besar
daripada bahan bakar fosil lainnya. Tetapi, jika dilihat dari kacamata
value chain, apakah benar demikian?
biofuel supply chain network design and operations-semantic scholar
Ternyata, asal muasal biofuel kalau di
Indonesia sejauh ini masih dipegang oleh komoditas kelapa sawit, dan
berdasarkan publikasi LPEM UI, diperlukan sekitar 338.000 hektar lahan sawit
baru untuk scenario B-20 di tahun 2025, dan sekitar 3,87 juta hektar lahan
sawit baru untuk scenario B-100 di tahun 2025 (koaksi via madani).
Artinya apa? Semakin kita menuju transisi energi
biofuel, maka demand akan sawit serta potensi pembukaan lahan akan semakin
tinggi. Sementara itu, berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia itu ada di sektor FOLU
(Forest and Other Land Use).
profil GRK di Indonesia (sc: KLHK) |
Apakah hubungan sawit dan FOLU? Seperti yang
sudah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam praktik pembukaan kebun kelapa sawit,
dibutuhkan lahan. Nah untuk membuka lahan tersebut maka ada yang diubah. Dari yang
misalnya memiliki tutupan vegetasi heterogen menjadi lahan sawit monogen (satu
jenis tanaman). Disinilah ada potensi deforestasi dalam proses pembukaan lahan
sawit. Dan hal ini menyebabkan emisi GRK yang tinggi.
Variabilitas GHG footprints di CPO (sc: Science Direct) |
Selain itu pada praktik perkebunan kelapa sawit
secara tidak langsung juga mengakibatkan adanya emisi GRK, seperti praktik
pemupukan dan operasional pabrik kelapa sawit untuk menghasilkan crude palm oil.
Masalah yang ada selama ini belum ditemukan
kebijakan yang secara eksplisit mengharuskan BBN berasal dari sawit
berkelanjutan atau yang memegang prinsip NDPE (No Deforestation, Peat, and
Exploitation). Meskipun ulasan dalam media Kementerian Ekonomi menyatakan bahwa
harus ada upaya dalam penerimaan rantai pasok sawit berkelanjutan, namun hal
ini agaknya menjadi urgent untuk diundangkan mengingat demand kelapa
sawit di berbagai sektor semakin tinggi. Cara yang mudah untuk mengetahui
apakah itu kelapa sawit berkelanjutan atau tidak adalah dengan mencaritahu apakah
sawit tersebut tersertifikasi RSPO/ISPO/MSPO/ISCC (standarisasi sertifikasi
kelapa sawit berkelanjutan).
Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengetahui ketertelusuran/traceability bahan baku (feedstock) dalam
implementasi energi terbarukan biofuel. Salah satunya untuk memastikan apakah
sumber bahan tersebut berasal dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan
(tidak merusak lingkungan) atau responsible sourcing.
responsible sourcing (sc: proforest.net)
Selain memperhatikan traceability feedstock
dalam implementasi BBN di Indonesia, terdapat beberapa hal yang penting untuk
dilakukan, seperti diversifikasi feedstock (bisa merambah ke komoditas
lain seperti jagung, sekam padi, jarak, dan lain sebagainya); peningkatan
Good Agriculture Practice di sektor sawit itu sendiri, maupun pemanfaatan
limbah turunan sawit (minyak jelantah) yang juga mampu mendukung circular
economy.
Sehingga transisi energi dan strategi komitmen
iklim tidak menjadi isapan jempol semata. Mengingat manfaat program mandatori
penggunaan BBN dirasakan selain penghematan devisa dan cadangan sumberdaya
fosil, yaitu peningkatan nilai tambah CPO juga meningkatkan pertahanan tenaga
kerja petani sawit (dalam hal ini yang terlibat langsung dalam sourcing
biodiesel di Indonesia).
Kelapa sawit memiliki beberapa kelebihan dalam
menyediakan platform untuk produksi biodiesel di Indonesia. Pemanfaatan CPO
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saat ini masih sebesar 25%, hal ini
menunjukkan adanya potensi optimalisasi sumber energi terbarukan melalui
komoditas kelapa sawit. Pengembangan biodiesel diharapkan juga dapat menjadi
instrumen kebijakan untuk menjaga kestabilan harga CPO di Indonesia. Melalui
pengembangan industri biodesel, maka secara ekonomi dapat mendorong tercapainya
produksi minyak kelapa sawit yang optimal serta menekan dampak negatif terhadap
lingkungan hidup maupun emisi gas rumah kaca. Sehingga pengembangan biodiesel
tidak hanya dipandang sebagai bagian dari upaya untuk menopang kemandirian
ketahanan energi nasional, tetapi juga dapat mencapai produksi energi yang
berkelanjutan sekaligus mendorong produksi kelapa sawit yang berkelanjutan di
Indonesia.
0 comments