Tulisan ini adalah tulisan pertama di blog ini di tahun 2020, sekaligus menjadi refleksi dan catatan perjalanan di usia ke-24. Hei, welcome!
Jika tahun lalu cerita di blog ini dengan
latar belakang Kota Medan, maka tahun ini akan berbeda. Tepat di usia ke 24
kemarin, aku resmi berpindah tempat: tempat kerja, tempat tinggal, dan mungkin
tempat bertumbuh kedepannya.
Sejujurnya tidak terbesit sama sekali untuk
pindah secepat ini, pun tidak berekspektasi muluk-muluk. Nah, kebetulan, karena
di Bogor seorang diri (tidak ada teman, atau rekan kerja in peer wkwk), aku
sering jalan-jalan keluar keliling kampung di sekitar sini atau mengunjungi
kafe dan tempat perbelanjaan. Di kantor… mmmm… karena pandemic, banyak rekan
kerja yang WFH, FYI aku masih ‘anak baru’ sehingga harus melakukan penyesuaian
di kantor bersama rekan diluar divisi. Sejujurnya mengalami kesepian dan agak
sedikit frustasi (haha), tapi hamdalah bisa sedikit luwes karena (mungkin) sudah
belajar hal ini sebelumnya.
Di kantor yang sangat homy ini, aku merasa
damai: bisa menghirup udara segar di tengah kota Bogor yang masih rindang,
gemericik kolam ikan di depan ruang kerja, hujan tiap hari, dan suara air kolam
renang yang tenang. Aku terpikir untuk menuliskan cerita perjalanan usiaku yang
ke-24 dari setahun terakhir.
Pertama, mengenai diri sendiri
Suatu hal yang terbesit dalam pikiranku ketika
merefleksikan diri adalah: you changed a lot.
Jika ditanya apa yang cukup berkontribusi
mengubah perspeksi soal diri dan hal-hal yang dijalani, pasti jawabanku adalah
ketika mengikuti Pendidikan di Univ Sanata Dharma, KKN, blok 2, dan bekerja untuk
Unilever. Tapi hal itu merupakan alasan eksternal yang bisa jadi tidak valid. Pandemic
ini mengharuskan sering-sering di rumah,
tidak pergi-pergi, bertemu orang hanya secara virtual, dan.. menurutku itu
adalah momen yang sangat cocok untuk ‘metani’ diri sendiri. Apalagi posisiku
saat itu di Medan dan benar-benar tidak dengan lingkungan lamaku, aku-sendirian-bersama
orang-orang baru.
Ketika merefleksikan diri sendiri 4 tahun
yang lalu, jauh lama di usia yang belum menginjak kepala dua, sepertinya banyak
hal yang bisa ditertawakan. Dulu menganggap setiap hari harus produktif, harus
menghasilkan, harus memberikan kontribusi. Tapi lupa tidak memberikan
kontribusi (secara batin) untuk diri sendiri. 4 tahun lalu sepertinya masih
haus akan validasi dari orang lain, dan membuat diri tidak tenang, seolah-olah
kegagalan adalah suatu aib besar.
Namun jika dulu tidak sekeras itu terhadap
diri sendiri, mungkin juga tidak bisa di titik yang sekarang. Tapi ada hal yang
membuatku cukup tergelitik: sebenernya yang kamu cari tuh apa sih, Fut?
Apa yang aku cari? Aku menyebutnya “RUMAH”
Pada pertengahan Juli 2020 aku memutuskan
untuk melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Di dalam pesawat menuju Jakarta waktu
itu, aku cukup merenung tentang hal-hal yang… aku rasa, seperti awan: silih
berganti. Kehilangan, kepergian, dan kesedihan adalah hal yang lumrah dirasakan
setiap orang. Termasuk aku. Di kepala dua ini, banyak hal silih berganti dan sulit
untuk diprediksi. Apa yang diusahakan belum tentu didapatkan (saat itu juga),
dan apa yang diharapkan belum tentu sesuai dengan kenyataan. Hal-hal itu seringkali
membuat stress apabila tidak di-handle dengan baik. Keputusan-keputusan yang
diambil mengharuskan kita untuk realistis meskipun kadang cukup membuat khawatir
dan menyakitkan. Belum lagi karena kita sebagai makhluk sosial, faktor eksternal
juga berpengaruh dalam mengambil keputusan. Kita sering merasa overwhelmed.
Sesampainya di Tangerang dan memesan sebuah
hotel untuk stay-cation seorang diri (lol). Lalu memesan makanan enak, aku
mulai berpikir dan merasakan bahwa, selama ini yang aku cari adalah diriku
sendiri:
Dan rumah itu adalah: hati.
Seringkali kita merasa tidak puas dengan
apa yang sudah kita dapatkan saat ini, atau merasa kurang, merasa rendah,
merasa tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan. Ketika perasaan itu campuraduk
menjadi satu, mungkin suatu hal yang bisa menepisnya adalah rasa percaya.
I am not the religious one (that judged by
society), tapi aku selalu meyakini bahwa semua hal atas campur tangan Tuhan.
Kenapa sih kita Lelah setelah melakukan
aktivitas? Kenapa sih kita merasa sedih ketika orang lain menyakiti kita? Hal itu
normal kan? Betul, sebagai manusia itu normal. Dan ini yang kita rasakan di
dunia, akan selalu demikian. Tapi tempat kita yang sesungguhnya bukan di
dunia, kan?
Ya, rumah itu adalah hati, tempat yang
paling aman ketika resah dan lelah mulai melanda. Kembali mengingat Tuhan
membuatnya tentram, membaca kitab suci membuat suasana menjadi lebih sejuk. Dan
bercerita kepada Tuhan; menangis sepuasnya, lalu (kadang tertidur) membuat
rumah itu terasa damai. Meskipun sebagai manusia biasa, kadang rumah itu
terkotori oleh prasangka, kekhawatiran, dan lain sebagainya, tetap, Kembali lagi…
kepada siapa kita berteduh selain pada diri sendiri dan tetap melibatkan Tuhan?
Maka, semoga kita bisa selalu berlapangdada.
Dan menjadikan rumah itu sebagai tempat yang cukup aman ditengah banyaknya
ketidakpastian dan hal-hal tak terduga yang mungkin akan kita alami.
Yang kedua, tentang Kesehatan
Sejak di Medan, lidahku bertransformasi mampu
mengenali berbagai rasa rerempahan nusantara. Seperti yang kita semua tau,
bahwa Medan adalah surganya kuliner. Banyak makanan enak bisa dijumpai disini,
mulai dari yang enak dan halal, sampai yang enak dan tidak halal (tapi yang
tidak halal kenapa selalu enak ya? Wkwk, canda). Sayangnya, masakan disini
mostly too fatty. Suatu hari aku bercermin, dengan berat badanku yang waktu itu
Cuma 46kg, ada buntalan di bagian perut. Beberapa kali asam lambungku naik dan
aku sering merasa lelah.
Di Imma Kost--- tempat tinggalku di Medan,
ada lantai 2.5, dan setiap pagi kami selalu mendapatkan sinar matahari disana. Aku
melakukan beberapa Gerakan yoga, sekadar untuk mencegah sakit punggung karena
sering bekerja di depan layar. Dan menurutku itu masih belum cukup. Aku mulai
memasak per januari 2020, dan berkomitmen dengan #CleanEating sebagai metode
diet (bukan untuk menguruskan ya, tapi biar nutrisinya seimbang dan berat
badannya juga terjaga). Menjalankan 2 bulan #CleanEating, akhirnya aku membuat
akun di Instagram bernama Dapur Futty, meskipun tidak sering post karena malas.
Hahaa.
Tapi ada beberapa hal yang aku rasakan dengan
clean eating itu: BAB ku lebih teratur, tidak mudah lelah, hemat di kantong
(yaiyalah seminggu cuma 100k wkwk), dan kulitku jadi lebih moist. Hehe. Akhirnya
mencoba konsisten dengan itu sampai bulan November kemarin sebelum pindah (dan
pindahan ini aku bener-bener ampas sekali karena makannya masih di luar, belum
bisa masak sendiri karena belum ada dapur).
Nah, selain clean eating, aku juga merambah
ke senam kardio. Kenapa? Simply: mengencangkan badan dan bentuk investasi jangka
panjang. Akhirnya setiap dua hari sekali, 30 menit pasti melakukan senam kardio
dan lompat tali (kadang ditambah sit up, push up, squat). Alhasil memang
mengencang di beberapa bagian yang aku targetkan, dan mungkin harus ku tambah frekuensinya
agar hasilnya semakin oke.
Yah, yang gak kalah penting adalah: minum
air putih yang banyak. Di usia kita, apalagi perempuan ya.. tanda-tanda penuaan
seperti garis halus di wajah mulai muncul. Dan kadang by hormonal, jerawat juga
muncul. Hal yang aku pelajari adalah: pola hidup sehat, makan dan minum yang
teratur bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan baik dari aspek Kesehatan maupun
kecantikan. Lol.
Bicara mengenai kecantikan, ada hal yang
menjadi catatan buatku
Sejujurnya minder itu pasti pernah dialami,
apalagi bagi kita yang ibarat kata tidak memenuhi standart kecantikan netijen Indonesia:
kulit putih, hidung mancung, fashionable, dll banyak lagi hehe.
Namun hal penting yang ku definisikan dari
kecantikan adalah: kebersihan
Bersih dalam artian luar dan dalam ya. Mungkin
kalo dari dalam, orang biasa menyebutnya inner beauty. Aku pernah menjumpai
orang yang bahkan ketika dia lewat, mata kita tertuju padanya, senyumnya simpul
namun kharimatik. Energi dari dalam begitu terpancar. Yah, aku melihatnya
memiliki inner beauty yang membuatku tertarik lalu memperhatikannya.
Inner beauty tidak akan terpancar kalau kita
tidak pandai menjaga kebersihan. Se simpel menggunakan deodorant untuk
mengantisipasi bau badan, atau menggunakan wewangian yang tidak berlebihan,
membersihkan wajah, menggosok gigi secara teratur, mencabut/mencukur bulu di
beberapa area, menggunakan sampo dan sabun yang proper, memakai pakaian yang
bersih dan rapih, rajin membersihkan tempat tidur, kamar mandi, tempat tinggal,
dan menjadikan lingkungan di sekitar nyaman untuk dipandang/ditinggali.
Hematku, jika pikiran tertata dan dinutrisi
dengan wawasan, diri dan lingkungan bersih, hati cukup lapang untuk memahami
situasi dan kondisi, itu akan membuat energi positif dan memancarkan suatu hal
dalam diri kita, yang kemudian aku sebut sebagai: kecantikan.
Tidak harus putih, tinggi, mancung, langsing.
Kecantikan yang seperti itu tidak akan bertahan lama.
Semoga kita bisa senantiasa cantik, sesuai
dengan definisi yang kita inginkan dan standartkan untuk diri kita sendiri.
Yang ketiga, soal pekerjaan dan rejeki
Ini sepertinya sensitive di usia-usia
sekarang: rawan membanding-bandingkan dengan orang lain. Kerja dimana, gajinya
berapa, sudah investasi atau punya asset apa aja, dll
dan itu diakui tidak diakui, pasti ada rasa
gimana gitu, dan kadang membuat insecure. Perihal soal rejeki dan pekerjaan,
sebenernya aku pernah nulis refleksi untuk ini di ig story (highlight). Nah, tapi
gak ada salahnya juga sih kalo ditulis disini. Ehhee
Kembali lagi sih, porsi rejeki setiap orang
beda-beda, gak bisa disamakan. Lha wong ‘berangkat’nya aja udah beda kan? Hihi.
Ada orang yang bekerja untuk mengaktualisasi diri, ada orang yang bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya, dan ada yang dua-duanya. Tidak ada yang salah, selama
dalam prosesnya tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.
Ada beberapa bagian penting yang ku catat
terkait dengan rejeki, bahwasanya rejeki bentuknya tidak sebatas pada material.
Betul, di usia kita (under 25, bahkan under 30) kestabilan bukan hal yang mudah
untuk didapatkan, kecuali bagi mereka yang sudah punya privilege tertentu dari
keluarganya, atau lainnya. Dipungkiri tidak dipungkiri, privilege memegang
peranan penting ketika kita sudah terjun di dunia yang sebenarnya. Oleh karena
itu, akan sangat tidak bijak kalo kita masih membanding-bandingkan pencapaian
(material) kita dengan orang lain.
Mungkin, sekadar menjadi motivasi dan plan
to action, oke lah ya.. karena tidak bisa dipungkiri, bahwa kita juga butuh
materi untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Namun Kembali lagi, rejeki bukan
Cuma materi. Networking, lingkungan yang baik, Kesehatan, keluarga yang ridho
dengan kita, juga adalah bentuk rejeki kan?
Asalkan tidak kemudian berdiam diri dan “ngatong”.
Rejeki juga harus dijemput (dengan cara yang baik tentunya).
Semoga hati selalu diberikan kelapangan
untuk bersyukur.
Berbicara soal syukur, ada hal yang sebenarnya
memalukan pernah kualami. Ya, di awal-awal kerja, dari yang biasanya ngajar les
30rb/jam di jogja, atau mentok olim 130rb/jam (seringnya sih 100rb/jam) dan tidak
tentu penghasilannya, kemudian mendapatkan penghasilan yang cukup untuk ukuran
freshgraduate.. tentu agak kaget, dan rasa ingin ‘gaining’ lebih itu muncul;
apalagi pengen ini.. pengen itu. Itu terjadi saat awal-awal kerja.
Di lain sisi, nggak bisa seenaknya menghabiskan
uang karena posisinya sekarang sudah mengambil tanggung jawab untuk keluarga
(re: sandwich). Jadi ya agak gimana gitu kalau mau hedon. Haha. Nah, pernah
suatu hari ngerasa ‘iri’ sama temem-temen yang bisa senang-senang dengan
gajinya, ngopi enak di starbak, beli pakaian branded, handphone ipon, dll. Pengen?
Normal, wajar banget kalo pengen. Kemudian hati merasa sesak karena merasa kehidupan
ini gak adil, merasa gak bisa se leluasa itu menggunakan uang, dan lain-lain. Ujung-ujungnya
apa? Berat waktu ngasih ke ortu, tapi yo kok rasanya uang habis gatau entah
kemana.
Ketika dengerin ceramah di Yutub, ternyata…
salah satu tanda rejeki yang tidak berkah adalah hati yang tidak tenang. Deg! Jangan
jangan selama ini aku terlalu perhitungan dan engga lapang (re: selalu ngerasa
kurang)? Kemudian yang aku lakukan saat itu adalah evaluasi keuangan
besar-besaran (setelah 4 bulan kerja dan beberapa tanggungan udah dilunasi). Ternyata
benar saja, pengelolaan keuanganku masih sangat ampas. Dana sosial masih aku
campur dengan zakat penghasilan, padahal ga bisa gitu. Zakat penghasilan nominal
itungannya dipisah. Sejak saat itu, aku mulai melakukan transformasi
besar-besaran terkait manajemen keuangan:
Membuat pos pendapatan dan pengeluaran,
serta mencatat semuanya satu per satu. Mulai memisahkan (budgeting) kewajiban
dan kebutuhan. Hasilnya? Well-managed. Meskipun belum sepenuhnya merdeka secara
finansial, tapi at least, neraca keuangannya sehat. Hehe
Nah, yang kaitannya sama sandwich gimana?
Suatu hari hujan deras di Medan dan aku
lapar, kemudian keluar buat beli sate, aku menjumpai pedagang roti yang basah
kuyub dan dagangannya masih banyak. Rasa hati pengen beli dagangannya, tapi
kaki susah sekali melangkah, dan mulut gamau manggil bapak rotinya. Pedagang roti
pun berlalu.
Sampai di kamar kos, aku nangis. Kenapa nggak
manggil aja? Tapi yah, sudah terlewat. Kata ibuk kos… Mungkin rejeki bapaknya
bukan melaluiku pada saat itu. DEG!
“BISA JADI, REJEKIMU ADALAH REJEKI ORANG
LAIN YANG DIKIRIMKAN TUHAN MELALUI KAMU.”
Ketika menyadari bahwa Tuhan ngasih kita
rejeki bukan cuma buat kita aja---tapi ada porsi orang lain disitu, perlahan
hati mulai lapang dan ridho. Perlahan, bisa menerima kenyataan bahwa si sulung
perempuan ini harus menjalani perannya yang sekarang. Dan tentu, tetap
mengingat bahwa semuanya nanti akan dipertanggungjawabkan, termasuk ‘nasab’
asal muasal rejeki kita darimana, halal engga nya.
Ternyata, memanajemen hati perkara materi
itu engga gampang. Butuh istighfar berkali-kali. Ga gampang bukan berarti gabisa
kan?
Hehe, kita masih harus bersyukur karena masih ada tempat untuk ditinggali, masih ada makanan yang bisa dimakan, masih ada teman-teman yang baik, masih diberi Kesehatan. Melihat ke bawah biar kita engga kufur, melihat keatas sekadarnya biar kita termotivasi buat engga fakir. Hehe.
Dan yang ke empat: keluarga, pertemanan, dan pasangan
Aku selalu bersyukur, lahir di keluarga
yang secara tidak langsung mengajariku keharusan untuk bekerja keras memenuhi
kebutuhan hidup. Ya defaultnya memang seperti itu. Haha, dan hal itu pula lah
yang memotivasiku untuk “keluar” dari ‘circle of poverty’. Meskipun terlahir dan
besar ditengah keterbatasan, Ibu selalu memberikan nutrisi yang cukup untuk
tumbuh kembang anak-anaknya, dan bapak selalu memotivasi anak-anaknya untuk maju.
Ibuk dan bapak pula lah yang mengajari bahwa meskipun kita tidak berpunya
materi, kita harus punya Nurani dan wawasan. Karena keduanya akan membawa kita
pada hal-hal baik yang mungkin tidak kita duga. Ibuk dan bapak selalu menanamkan
bahwa Pendidikan adalah entitas yang sangat penting, oleh karenanya, kita tidak
boleh berhenti belajar. Dalam hal apapun, dan dimanapun. Termasuk belajar dari
kesalahan dan kegagalan.
Setahun belakangan, jarang bertemu
bapak/ibu, ketemu Cuma setahun sekali. Itupun Cuma 2 minggu. Rasanya kurang
sekali. Sementara mereka kian menua dan kondisi Kesehatan bapak yang sangat
tidak stabil. Ada rasa bersalah ketika meninggalkan mereka terlalu jauh, tapi
dilain sisi, itu perlu dilakukan juga (nyari duid hehe)., dan kalau sering pulang,
ongkosnya gila-gilaan. Terkuras sudah tabungan. akhirnya yang bisa dilakukan
adalah rutin menelpon mereka, memastikan mereka aman, sehat, dan baik-baik
saja. Kebetulan adik di rumah (tidak merantau), jadi pengawasan lebih banyak dilakukan
oleh adik. Maka sering berdoa, supaya bisa dipindahlokasikan at least di Jawa
biar bisa lebih memonitoring kondisi orangtua. Meskipun ada cita-cita S2 di luar negeri, mengunjungi negara-negara di timur tengah seperti impianku sejak kecil, melihat pemandangan Islandia sambil muter instrumennya M2U-Masquerade,
at least untuk saat ini, target terbesarnya adalah membantu mereka membuat
hunian yang cukup layak untuk ditinggali di masa tuanya. Bismillah.
Kesyukuran yang kedua adalah… aku
menemukenali apa itu cinta. Cinta yang selama ini definisinya selalu aku cari. Dimana
aku menemukannya? Di Imma Kost di Medan (dan ketika nulis ini aku nangis wkwk).
Cinta tumbuh dengan kasih, saling menghargai, saling menghormati satu sama
lain. Orang yang dicintai akan merasakan cinta dan kasih itu. Ibu, bapak, kakak
kos, dan teman-teman di kosan telah membuktikan bahwa kasih itu nyata adanya. Mereka
tidak segan untuk menegurku ketika aku melakukan hal yang keliru, tapi juga
mengapresiasiku atas hal baik yang aku lakukan. Mereka bersedia jujur atas perasaan
mereka dan tetap menyampaikan tanpa menyakiti. Aku menemukan keluarga di Medan.
Pertemanan? Sepertinya di usia-usia saat
ini kita tidak boleh mencari musuh ya? Haha. Tetap menjaga koneksi dengan kenalan
dan teman. Namun bedanya, circle pertemanan kian menyempit. Dan bahkan
meng-eksklud beberapa dari circle inti. Bukan karena benci, tapi lebih tepatnya
untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri dan mengantisipasi dari hal yang
saling menyakiti.
Pasangan? HAHAHAHHAHAHAHAHAHA
Orangtuaku sudah sering mengkhawatirkan
soal ini. Bukan karena mereka kepengen aku segera menikah, tapi mereka takut
dengan kejadian traumatik soal hubungan yang pernah aku alami beberapa tahun
silam dan membuat rasa percayaku untuk menemukan pasangan mungkin memudar. Beberapa
kali mencoba untuk membuka diri, lalu seperti hampa, dan gagal. Mungkin tahun-tahun
sebelumnya aku menganggap pasangan adalah seseorang yang bisa menyembuhkan luka.
Ternyata aku salah besar. Kegagalanku berasal dari aku sendiri yang belum
sembuh.
2 tahun terakhir ini, aku mengikuti beberapa
kelas pengembangan diri, self-healing, dan apapun yang bisa membantuku untuk “valued”
myself. Daaaannn, taraaa!!! Setahunan ini akhirnya aku menemukan apa itu “rumah”
(baca paragraph awal-awal). Akhirnya, bisa menikmati moment yang sekarang, merasa
cukup dengan diri sendiri, meskipun perjalannya cukup berdarah-darah juga (makasih
teman-teman deketku yang kena imbas curcolan ampasku soal ini hahaha). Dan meskipun
kadang merasa kesepian, atau mungkin ‘nature’ perempuan yang ingin memberikan
kasih sayang sering muncul; aku mengekspresikannya dengan cara… memberikan
kasih sayang ke kucing. Setidaknya itu lebih aman kan? Hehehe
Meskipun tekanan sosial juga tinggi, tapi
apa gunanya kita menemukan pasangan jika hanya untuk status sosial saja? Ada hal-hal
yang lebih esensial dari itu semua.
Jika sekarang ditanya soal pasangan, simply,
jawabannya: belum waktunya.
Either sudah ketemu orangnya atau belum,
mungkin akan lebih baik kalau kita perlu mengenali diri sendiri sebelum stating
“pengen pasangan yang seperti apa.”
Dan jika ditanya pengen punya pasangan seperti
apa, aku bakal jawab:
“seseorang yang hatinya cukup aman dan teduh
untuk aku tinggali.” #haseeeeekkkkk
Satu kalimat tapi maknanya lebar. Hahaha. Karena
kita gak tau akan berjodoh dengan siapa (meskipun ada keinginan agar bisa
berjodoh dengan orang yang kita percayai---atau kita harapkan), tapi perihal
jodoh itu adalah perihal yang abstrak, yang main bukan lagi logika. Tapi perasaan
dan yang paling penting – campurtangan Tuhan. Makanya usaha (lol) doa terus
supaya dapat jodoh yang baik, yang memegang value yang sama dengan yang kita
pegang dan yakini, yang bisa membuat diri kita saling menuju ke arah yang lebih
baik, bisa bertumbuh bersama. Karena bukankah perjalanan yang sebenarnya adalah
dimulai ketika sudah menikah? Berdua, harus mengendorkan ego, sabar, lapang.. bisa
jadi ada masalah sana-sini. So that’s why menikah dinamakan ibadah terpanjang. Ya
karena cobaannya akan selalu ada. Dan PR nya adalah how to compromise and fix
it?
Yaps,
begitulah. Wkwk meskipun demikian, aku masih memiliki keinginan dan kebutuhan
untuk menyalurkan kasih sayangku, kepada pasangan. Memberikan cinta dan kasih...
Dan masih ada keinginan untuk berkembangbiak memiliki anak dan membesarkannya
dengan kasih; dan tentu, menjadi hot-mama HAHAHAHA.
Refleksi tahun 2020 di usia yang ke 24 ini
mungkin masih hanya sebagian kecil saja yang aku ceritakan. Dan semoga bisa menjadi
pengingat (bagiku pribadi) ketika mulai kehilangan arah, harus tetap bersyukur dengan
apa yang dimiliki saat ini, tapi juga harus bergerak ke arah yang lebih baik.
Bismillah.
(yang baca sampe akhir, kamu keren banget. ini panjang loh (7 pages di ms word calibri 11), nulisnya sambil menikmati hujan di kota hujan, 2 jam).