Jumat, 11 Desember 2020

24: Catatan Perjalanan dan Refleksi



Tulisan ini adalah tulisan pertama di blog ini di tahun 2020, sekaligus menjadi refleksi dan catatan perjalanan di usia ke-24. Hei, welcome!

Jika tahun lalu cerita di blog ini dengan latar belakang Kota Medan, maka tahun ini akan berbeda. Tepat di usia ke 24 kemarin, aku resmi berpindah tempat: tempat kerja, tempat tinggal, dan mungkin tempat bertumbuh kedepannya.



Sejujurnya tidak terbesit sama sekali untuk pindah secepat ini, pun tidak berekspektasi muluk-muluk. Nah, kebetulan, karena di Bogor seorang diri (tidak ada teman, atau rekan kerja in peer wkwk), aku sering jalan-jalan keluar keliling kampung di sekitar sini atau mengunjungi kafe dan tempat perbelanjaan. Di kantor… mmmm… karena pandemic, banyak rekan kerja yang WFH, FYI aku masih ‘anak baru’ sehingga harus melakukan penyesuaian di kantor bersama rekan diluar divisi. Sejujurnya mengalami kesepian dan agak sedikit frustasi (haha), tapi hamdalah bisa sedikit luwes karena (mungkin) sudah belajar hal ini sebelumnya.

Di kantor yang sangat homy ini, aku merasa damai: bisa menghirup udara segar di tengah kota Bogor yang masih rindang, gemericik kolam ikan di depan ruang kerja, hujan tiap hari, dan suara air kolam renang yang tenang. Aku terpikir untuk menuliskan cerita perjalanan usiaku yang ke-24 dari setahun terakhir.

Pertama, mengenai diri sendiri

Suatu hal yang terbesit dalam pikiranku ketika merefleksikan diri adalah: you changed a lot.

Jika ditanya apa yang cukup berkontribusi mengubah perspeksi soal diri dan hal-hal yang dijalani, pasti jawabanku adalah ketika mengikuti Pendidikan di Univ Sanata Dharma, KKN, blok 2, dan bekerja untuk Unilever. Tapi hal itu merupakan alasan eksternal yang bisa jadi tidak valid. Pandemic ini  mengharuskan sering-sering di rumah, tidak pergi-pergi, bertemu orang hanya secara virtual, dan.. menurutku itu adalah momen yang sangat cocok untuk ‘metani’ diri sendiri. Apalagi posisiku saat itu di Medan dan benar-benar tidak dengan lingkungan lamaku, aku-sendirian-bersama orang-orang baru.

Ketika merefleksikan diri sendiri 4 tahun yang lalu, jauh lama di usia yang belum menginjak kepala dua, sepertinya banyak hal yang bisa ditertawakan. Dulu menganggap setiap hari harus produktif, harus menghasilkan, harus memberikan kontribusi. Tapi lupa tidak memberikan kontribusi (secara batin) untuk diri sendiri. 4 tahun lalu sepertinya masih haus akan validasi dari orang lain, dan membuat diri tidak tenang, seolah-olah kegagalan adalah suatu aib besar.

Namun jika dulu tidak sekeras itu terhadap diri sendiri, mungkin juga tidak bisa di titik yang sekarang. Tapi ada hal yang membuatku cukup tergelitik: sebenernya yang kamu cari tuh apa sih, Fut?

Apa yang aku cari? Aku menyebutnya “RUMAH”

Pada pertengahan Juli 2020 aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Di dalam pesawat menuju Jakarta waktu itu, aku cukup merenung tentang hal-hal yang… aku rasa, seperti awan: silih berganti. Kehilangan, kepergian, dan kesedihan adalah hal yang lumrah dirasakan setiap orang. Termasuk aku. Di kepala dua ini, banyak hal silih berganti dan sulit untuk diprediksi. Apa yang diusahakan belum tentu didapatkan (saat itu juga), dan apa yang diharapkan belum tentu sesuai dengan kenyataan. Hal-hal itu seringkali membuat stress apabila tidak di-handle dengan baik. Keputusan-keputusan yang diambil mengharuskan kita untuk realistis meskipun kadang cukup membuat khawatir dan menyakitkan. Belum lagi karena kita sebagai makhluk sosial, faktor eksternal juga berpengaruh dalam mengambil keputusan. Kita sering merasa overwhelmed.

Sesampainya di Tangerang dan memesan sebuah hotel untuk stay-cation seorang diri (lol). Lalu memesan makanan enak, aku mulai berpikir dan merasakan bahwa, selama ini yang aku cari adalah diriku sendiri:

Dan rumah itu adalah: hati.


Seringkali kita merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita dapatkan saat ini, atau merasa kurang, merasa rendah, merasa tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan. Ketika perasaan itu campuraduk menjadi satu, mungkin suatu hal yang bisa menepisnya adalah rasa percaya.

I am not the religious one (that judged by society), tapi aku selalu meyakini bahwa semua hal atas campur tangan Tuhan.

Kenapa sih kita Lelah setelah melakukan aktivitas? Kenapa sih kita merasa sedih ketika orang lain menyakiti kita? Hal itu normal kan? Betul, sebagai manusia itu normal. Dan ini yang kita rasakan di dunia, akan selalu demikian. Tapi tempat kita yang sesungguhnya bukan di dunia, kan?

Ya, rumah itu adalah hati, tempat yang paling aman ketika resah dan lelah mulai melanda. Kembali mengingat Tuhan membuatnya tentram, membaca kitab suci membuat suasana menjadi lebih sejuk. Dan bercerita kepada Tuhan; menangis sepuasnya, lalu (kadang tertidur) membuat rumah itu terasa damai. Meskipun sebagai manusia biasa, kadang rumah itu terkotori oleh prasangka, kekhawatiran, dan lain sebagainya, tetap, Kembali lagi… kepada siapa kita berteduh selain pada diri sendiri dan tetap melibatkan Tuhan?

Maka, semoga kita bisa selalu berlapangdada. Dan menjadikan rumah itu sebagai tempat yang cukup aman ditengah banyaknya ketidakpastian dan hal-hal tak terduga yang mungkin akan kita alami.

Yang kedua, tentang Kesehatan

Sejak di Medan, lidahku bertransformasi mampu mengenali berbagai rasa rerempahan nusantara. Seperti yang kita semua tau, bahwa Medan adalah surganya kuliner. Banyak makanan enak bisa dijumpai disini, mulai dari yang enak dan halal, sampai yang enak dan tidak halal (tapi yang tidak halal kenapa selalu enak ya? Wkwk, canda). Sayangnya, masakan disini mostly too fatty. Suatu hari aku bercermin, dengan berat badanku yang waktu itu Cuma 46kg, ada buntalan di bagian perut. Beberapa kali asam lambungku naik dan aku sering merasa lelah.

Ada teman yang menyarankan untuk nge-gym, dan kemudian setelah aku melihat-lihat lingkungan untuk nge-gym, sepertinya itu kurang cocok buatku. Aku mulai lari pagi mengelilingi jalan laksana-jalan japaris, jalan Ismailiyah, Kembali ke jalan puri dan jalan laksana--- tapi beberapa kali pula aku diklakson dan disrempet kendaraan bermotor: medan memang tidak ramah pejalan kaki.

Di Imma Kost--- tempat tinggalku di Medan, ada lantai 2.5, dan setiap pagi kami selalu mendapatkan sinar matahari disana. Aku melakukan beberapa Gerakan yoga, sekadar untuk mencegah sakit punggung karena sering bekerja di depan layar. Dan menurutku itu masih belum cukup. Aku mulai memasak per januari 2020, dan berkomitmen dengan #CleanEating sebagai metode diet (bukan untuk menguruskan ya, tapi biar nutrisinya seimbang dan berat badannya juga terjaga). Menjalankan 2 bulan #CleanEating, akhirnya aku membuat akun di Instagram bernama Dapur Futty, meskipun tidak sering post karena malas. Hahaa.

Tapi ada beberapa hal yang aku rasakan dengan clean eating itu: BAB ku lebih teratur, tidak mudah lelah, hemat di kantong (yaiyalah seminggu cuma 100k wkwk), dan kulitku jadi lebih moist. Hehe. Akhirnya mencoba konsisten dengan itu sampai bulan November kemarin sebelum pindah (dan pindahan ini aku bener-bener ampas sekali karena makannya masih di luar, belum bisa masak sendiri karena belum ada dapur).

Nah, selain clean eating, aku juga merambah ke senam kardio. Kenapa? Simply: mengencangkan badan dan bentuk investasi jangka panjang. Akhirnya setiap dua hari sekali, 30 menit pasti melakukan senam kardio dan lompat tali (kadang ditambah sit up, push up, squat). Alhasil memang mengencang di beberapa bagian yang aku targetkan, dan mungkin harus ku tambah frekuensinya agar hasilnya semakin oke.


Yah, yang gak kalah penting adalah: minum air putih yang banyak. Di usia kita, apalagi perempuan ya.. tanda-tanda penuaan seperti garis halus di wajah mulai muncul. Dan kadang by hormonal, jerawat juga muncul. Hal yang aku pelajari adalah: pola hidup sehat, makan dan minum yang teratur bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan baik dari aspek Kesehatan maupun kecantikan. Lol.

Bicara mengenai kecantikan, ada hal yang menjadi catatan buatku

Sejujurnya minder itu pasti pernah dialami, apalagi bagi kita yang ibarat kata tidak memenuhi standart kecantikan netijen Indonesia: kulit putih, hidung mancung, fashionable, dll banyak lagi hehe.

Namun hal penting yang ku definisikan dari kecantikan adalah: kebersihan

Bersih dalam artian luar dan dalam ya. Mungkin kalo dari dalam, orang biasa menyebutnya inner beauty. Aku pernah menjumpai orang yang bahkan ketika dia lewat, mata kita tertuju padanya, senyumnya simpul namun kharimatik. Energi dari dalam begitu terpancar. Yah, aku melihatnya memiliki inner beauty yang membuatku tertarik lalu memperhatikannya.

Inner beauty tidak akan terpancar kalau kita tidak pandai menjaga kebersihan. Se simpel menggunakan deodorant untuk mengantisipasi bau badan, atau menggunakan wewangian yang tidak berlebihan, membersihkan wajah, menggosok gigi secara teratur, mencabut/mencukur bulu di beberapa area, menggunakan sampo dan sabun yang proper, memakai pakaian yang bersih dan rapih, rajin membersihkan tempat tidur, kamar mandi, tempat tinggal, dan menjadikan lingkungan di sekitar nyaman untuk dipandang/ditinggali.

Hematku, jika pikiran tertata dan dinutrisi dengan wawasan, diri dan lingkungan bersih, hati cukup lapang untuk memahami situasi dan kondisi, itu akan membuat energi positif dan memancarkan suatu hal dalam diri kita, yang kemudian aku sebut sebagai: kecantikan.

Tidak harus putih, tinggi, mancung, langsing. Kecantikan yang seperti itu tidak akan bertahan lama.

Semoga kita bisa senantiasa cantik, sesuai dengan definisi yang kita inginkan dan standartkan untuk diri kita sendiri.

Yang ketiga, soal pekerjaan dan rejeki

Ini sepertinya sensitive di usia-usia sekarang: rawan membanding-bandingkan dengan orang lain. Kerja dimana, gajinya berapa, sudah investasi atau punya asset apa aja, dll


dan itu diakui tidak diakui, pasti ada rasa gimana gitu, dan kadang membuat insecure. Perihal soal rejeki dan pekerjaan, sebenernya aku pernah nulis refleksi untuk ini di ig story (highlight). Nah, tapi gak ada salahnya juga sih kalo ditulis disini. Ehhee

Kembali lagi sih, porsi rejeki setiap orang beda-beda, gak bisa disamakan. Lha wong ‘berangkat’nya aja udah beda kan? Hihi. Ada orang yang bekerja untuk mengaktualisasi diri, ada orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, dan ada yang dua-duanya. Tidak ada yang salah, selama dalam prosesnya tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.

Ada beberapa bagian penting yang ku catat terkait dengan rejeki, bahwasanya rejeki bentuknya tidak sebatas pada material. Betul, di usia kita (under 25, bahkan under 30) kestabilan bukan hal yang mudah untuk didapatkan, kecuali bagi mereka yang sudah punya privilege tertentu dari keluarganya, atau lainnya. Dipungkiri tidak dipungkiri, privilege memegang peranan penting ketika kita sudah terjun di dunia yang sebenarnya. Oleh karena itu, akan sangat tidak bijak kalo kita masih membanding-bandingkan pencapaian (material) kita dengan orang lain.

Mungkin, sekadar menjadi motivasi dan plan to action, oke lah ya.. karena tidak bisa dipungkiri, bahwa kita juga butuh materi untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Namun Kembali lagi, rejeki bukan Cuma materi. Networking, lingkungan yang baik, Kesehatan, keluarga yang ridho dengan kita, juga adalah bentuk rejeki kan?

Asalkan tidak kemudian berdiam diri dan “ngatong”. Rejeki juga harus dijemput (dengan cara yang baik tentunya).

Semoga hati selalu diberikan kelapangan untuk bersyukur.

Berbicara soal syukur, ada hal yang sebenarnya memalukan pernah kualami. Ya, di awal-awal kerja, dari yang biasanya ngajar les 30rb/jam di jogja, atau mentok olim 130rb/jam (seringnya sih 100rb/jam) dan tidak tentu penghasilannya, kemudian mendapatkan penghasilan yang cukup untuk ukuran freshgraduate.. tentu agak kaget, dan rasa ingin ‘gaining’ lebih itu muncul; apalagi pengen ini.. pengen itu. Itu terjadi saat awal-awal kerja.

Di lain sisi, nggak bisa seenaknya menghabiskan uang karena posisinya sekarang sudah mengambil tanggung jawab untuk keluarga (re: sandwich). Jadi ya agak gimana gitu kalau mau hedon. Haha. Nah, pernah suatu hari ngerasa ‘iri’ sama temem-temen yang bisa senang-senang dengan gajinya, ngopi enak di starbak, beli pakaian branded, handphone ipon, dll. Pengen? Normal, wajar banget kalo pengen. Kemudian hati merasa sesak karena merasa kehidupan ini gak adil, merasa gak bisa se leluasa itu menggunakan uang, dan lain-lain. Ujung-ujungnya apa? Berat waktu ngasih ke ortu, tapi yo kok rasanya uang habis gatau entah kemana.

Ketika dengerin ceramah di Yutub, ternyata… salah satu tanda rejeki yang tidak berkah adalah hati yang tidak tenang. Deg! Jangan jangan selama ini aku terlalu perhitungan dan engga lapang (re: selalu ngerasa kurang)? Kemudian yang aku lakukan saat itu adalah evaluasi keuangan besar-besaran (setelah 4 bulan kerja dan beberapa tanggungan udah dilunasi). Ternyata benar saja, pengelolaan keuanganku masih sangat ampas. Dana sosial masih aku campur dengan zakat penghasilan, padahal ga bisa gitu. Zakat penghasilan nominal itungannya dipisah. Sejak saat itu, aku mulai melakukan transformasi besar-besaran terkait manajemen keuangan:

Membuat pos pendapatan dan pengeluaran, serta mencatat semuanya satu per satu. Mulai memisahkan (budgeting) kewajiban dan kebutuhan. Hasilnya? Well-managed. Meskipun belum sepenuhnya merdeka secara finansial, tapi at least, neraca keuangannya sehat. Hehe

Nah, yang kaitannya sama sandwich gimana?

Suatu hari hujan deras di Medan dan aku lapar, kemudian keluar buat beli sate, aku menjumpai pedagang roti yang basah kuyub dan dagangannya masih banyak. Rasa hati pengen beli dagangannya, tapi kaki susah sekali melangkah, dan mulut gamau manggil bapak rotinya. Pedagang roti pun berlalu.

Sampai di kamar kos, aku nangis. Kenapa nggak manggil aja? Tapi yah, sudah terlewat. Kata ibuk kos… Mungkin rejeki bapaknya bukan melaluiku pada saat itu. DEG!

“BISA JADI, REJEKIMU ADALAH REJEKI ORANG LAIN YANG DIKIRIMKAN TUHAN MELALUI KAMU.”

Ketika menyadari bahwa Tuhan ngasih kita rejeki bukan cuma buat kita aja---tapi ada porsi orang lain disitu, perlahan hati mulai lapang dan ridho. Perlahan, bisa menerima kenyataan bahwa si sulung perempuan ini harus menjalani perannya yang sekarang. Dan tentu, tetap mengingat bahwa semuanya nanti akan dipertanggungjawabkan, termasuk ‘nasab’ asal muasal rejeki kita darimana, halal engga nya.

Ternyata, memanajemen hati perkara materi itu engga gampang. Butuh istighfar berkali-kali. Ga gampang bukan berarti gabisa kan?

Hehe, kita masih harus bersyukur karena masih ada tempat untuk ditinggali, masih ada makanan yang bisa dimakan, masih ada teman-teman yang baik, masih diberi Kesehatan. Melihat ke bawah biar kita engga kufur, melihat keatas sekadarnya biar kita termotivasi buat engga fakir. Hehe.

Dan yang ke empat: keluarga, pertemanan, dan pasangan

Aku selalu bersyukur, lahir di keluarga yang secara tidak langsung mengajariku keharusan untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup. Ya defaultnya memang seperti itu. Haha, dan hal itu pula lah yang memotivasiku untuk “keluar” dari ‘circle of poverty’. Meskipun terlahir dan besar ditengah keterbatasan, Ibu selalu memberikan nutrisi yang cukup untuk tumbuh kembang anak-anaknya, dan bapak selalu memotivasi anak-anaknya untuk maju. Ibuk dan bapak pula lah yang mengajari bahwa meskipun kita tidak berpunya materi, kita harus punya Nurani dan wawasan. Karena keduanya akan membawa kita pada hal-hal baik yang mungkin tidak kita duga. Ibuk dan bapak selalu menanamkan bahwa Pendidikan adalah entitas yang sangat penting, oleh karenanya, kita tidak boleh berhenti belajar. Dalam hal apapun, dan dimanapun. Termasuk belajar dari kesalahan dan kegagalan.

Setahun belakangan, jarang bertemu bapak/ibu, ketemu Cuma setahun sekali. Itupun Cuma 2 minggu. Rasanya kurang sekali. Sementara mereka kian menua dan kondisi Kesehatan bapak yang sangat tidak stabil. Ada rasa bersalah ketika meninggalkan mereka terlalu jauh, tapi dilain sisi, itu perlu dilakukan juga (nyari duid hehe)., dan kalau sering pulang, ongkosnya gila-gilaan. Terkuras sudah tabungan. akhirnya yang bisa dilakukan adalah rutin menelpon mereka, memastikan mereka aman, sehat, dan baik-baik saja. Kebetulan adik di rumah (tidak merantau), jadi pengawasan lebih banyak dilakukan oleh adik. Maka sering berdoa, supaya bisa dipindahlokasikan at least di Jawa biar bisa lebih memonitoring kondisi orangtua. Meskipun ada cita-cita S2 di luar negeri, mengunjungi negara-negara di timur tengah seperti impianku sejak kecil, melihat pemandangan Islandia sambil muter instrumennya M2U-Masquerade, at least untuk saat ini, target terbesarnya adalah membantu mereka membuat hunian yang cukup layak untuk ditinggali di masa tuanya. Bismillah.


Kesyukuran yang kedua adalah… aku menemukenali apa itu cinta. Cinta yang selama ini definisinya selalu aku cari. Dimana aku menemukannya? Di Imma Kost di Medan (dan ketika nulis ini aku nangis wkwk). Cinta tumbuh dengan kasih, saling menghargai, saling menghormati satu sama lain. Orang yang dicintai akan merasakan cinta dan kasih itu. Ibu, bapak, kakak kos, dan teman-teman di kosan telah membuktikan bahwa kasih itu nyata adanya. Mereka tidak segan untuk menegurku ketika aku melakukan hal yang keliru, tapi juga mengapresiasiku atas hal baik yang aku lakukan. Mereka bersedia jujur atas perasaan mereka dan tetap menyampaikan tanpa menyakiti. Aku menemukan keluarga di Medan.

Pertemanan? Sepertinya di usia-usia saat ini kita tidak boleh mencari musuh ya? Haha. Tetap menjaga koneksi dengan kenalan dan teman. Namun bedanya, circle pertemanan kian menyempit. Dan bahkan meng-eksklud beberapa dari circle inti. Bukan karena benci, tapi lebih tepatnya untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri dan mengantisipasi dari hal yang saling menyakiti.

Pasangan? HAHAHAHHAHAHAHAHAHA

Orangtuaku sudah sering mengkhawatirkan soal ini. Bukan karena mereka kepengen aku segera menikah, tapi mereka takut dengan kejadian traumatik soal hubungan yang pernah aku alami beberapa tahun silam dan membuat rasa percayaku untuk menemukan pasangan mungkin memudar. Beberapa kali mencoba untuk membuka diri, lalu seperti hampa, dan gagal. Mungkin tahun-tahun sebelumnya aku menganggap pasangan adalah seseorang yang bisa menyembuhkan luka. Ternyata aku salah besar. Kegagalanku berasal dari aku sendiri yang belum sembuh.

2 tahun terakhir ini, aku mengikuti beberapa kelas pengembangan diri, self-healing, dan apapun yang bisa membantuku untuk “valued” myself. Daaaannn, taraaa!!! Setahunan ini akhirnya aku menemukan apa itu “rumah” (baca paragraph awal-awal). Akhirnya, bisa menikmati moment yang sekarang, merasa cukup dengan diri sendiri, meskipun perjalannya cukup berdarah-darah juga (makasih teman-teman deketku yang kena imbas curcolan ampasku soal ini hahaha). Dan meskipun kadang merasa kesepian, atau mungkin ‘nature’ perempuan yang ingin memberikan kasih sayang sering muncul; aku mengekspresikannya dengan cara… memberikan kasih sayang ke kucing. Setidaknya itu lebih aman kan? Hehehe

Meskipun tekanan sosial juga tinggi, tapi apa gunanya kita menemukan pasangan jika hanya untuk status sosial saja? Ada hal-hal yang lebih esensial dari itu semua.

Jika sekarang ditanya soal pasangan, simply, jawabannya: belum waktunya.

Either sudah ketemu orangnya atau belum, mungkin akan lebih baik kalau kita perlu mengenali diri sendiri sebelum stating “pengen pasangan yang seperti apa.”

Dan jika ditanya pengen punya pasangan seperti apa, aku bakal jawab:

“seseorang yang hatinya cukup aman dan teduh untuk aku tinggali.” #haseeeeekkkkk

Satu kalimat tapi maknanya lebar. Hahaha. Karena kita gak tau akan berjodoh dengan siapa (meskipun ada keinginan agar bisa berjodoh dengan orang yang kita percayai---atau kita harapkan), tapi perihal jodoh itu adalah perihal yang abstrak, yang main bukan lagi logika. Tapi perasaan dan yang paling penting – campurtangan Tuhan. Makanya usaha (lol) doa terus supaya dapat jodoh yang baik, yang memegang value yang sama dengan yang kita pegang dan yakini, yang bisa membuat diri kita saling menuju ke arah yang lebih baik, bisa bertumbuh bersama. Karena bukankah perjalanan yang sebenarnya adalah dimulai ketika sudah menikah? Berdua, harus mengendorkan ego, sabar, lapang.. bisa jadi ada masalah sana-sini. So that’s why menikah dinamakan ibadah terpanjang. Ya karena cobaannya akan selalu ada. Dan PR nya adalah how to compromise and fix it?

Yaps, begitulah. Wkwk meskipun demikian, aku masih memiliki keinginan dan kebutuhan untuk menyalurkan kasih sayangku, kepada pasangan. Memberikan cinta dan kasih... Dan masih ada keinginan untuk berkembangbiak memiliki anak dan membesarkannya dengan kasih; dan tentu, menjadi hot-mama HAHAHAHA.


Refleksi tahun 2020 di usia yang ke 24 ini mungkin masih hanya sebagian kecil saja yang aku ceritakan. Dan semoga bisa menjadi pengingat (bagiku pribadi) ketika mulai kehilangan arah, harus tetap bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini, tapi juga harus bergerak ke arah yang lebih baik.

 

Bismillah.

 

(yang baca sampe akhir, kamu keren banget. ini panjang loh (7 pages di ms word calibri 11), nulisnya sambil menikmati hujan di kota hujan, 2 jam).

1 komentar:

  1. you know fut, udah lama aku ngikutin kamu di blog. Baca-baca dari yang bermakna sampek yang aku gak ngertilah kamu ini lagi ngomong apa. but, aku sangat berterimakasih karena kamu sudah menginspirasi aku, thanks ya untuk energi positifnya

    BalasHapus