Aku seorang gadis kecil, usiaku... Hmm... sekitar sembilan tahun lah. Kata orang-orang disekitarku, aku bocah yang sering bertingkah. Hai! Kenalkan, namaku Biru. Aku tinggal di sebuah desa di pulau yang besar. Guruku bilang, nama pulau itu adalah Pulau Sumatera, dekat laut, ada bukit, ada sungai. Di rumahku yang sederhana ada aku, ayah, ibu, dan abang. Rumah kami tidak di kota, masih ada sawah, empang, dan banyaak pohon.
Aku ingin becerita, beberapa hari yang lalu, ayah membelikan kami 30 ekor bebek, tentu aku dan abangku sangat senang. Ayah bilang, bebek-bebek ini harus dirawat, harus digiring ke sawah, harus diberi makan, dan dibersihkan kandangnya. Hari ini adalah hari ketiga aku dan abang merawat bebek-bebek itu, kebetulan hari ini hari minggu. Pagi-pagi, selepas ibu membuatkan kami sarapan dengan telur balado, kami beranjak ke sawah. Menggiring bebek-bebek itu supaya tetap pada jalurnya. Tetap pada lintasannya.
"Abaang! Tunggu.. Bebek yang itu larinya terlalu jauh.. Biru capek.."
"Ayo, Biru! undanglah bebek-bebek itu supaya kembali ke teman-temannya..."
Abang adalah sosok yang pekerja keras, tanpa diperintah dua kali, akupun mulai menggiring bebek-bebek itu.
"Abang... Biru lelah.."
"Ayo, Biru! Sedikit lagi bebek-bebek ini akan sampai pada tempatnya." Jawab abang.
Hingga matahari mulai di atas kepala, aku dan abang beristirahat. Makan siang bersama, dan tidur siang. Sore harinya kami harus memulangkan kembali bebek-bebek itu ke kandang.
Selanjutnya adalah hari Senin. Hari ini seusai sekolah nanti, aku ada les matematika jam 4 sore. Sekolahku usai pukul dua. tempat les dan sekolah jaraknya cukup berdekatan, tapi keduanya jauh dari rumah.
"Abang, Biru ada les sore ini, Biru ga pulang yaa selepas sekolah?" Tanyaku kepada abang yang usianya tiga tahun di atasku.
"Enak saja! Bagaimana dengan bebek-bebek kita? Kamu mau lepas tanggungjawab? Ayah sudah membelikannya untuk kita rawat, loh."
"Baik lah Bang, Biru nanti pulang.."
Ku kayuh sepedaku dengan cepat, aku membayangkan bagaimana kalau nanti bebek-bebekku kelaparan sementara Abang tidak ada teman yang membantu. Slret, sampailah. Ya, benar. Bebek-bebek kami lapar. Butuh setengah jam untuk memberi mereka makan, dan selepas itu, aku kembali lagi ke tempat awal: les matematika.
"Ayaah... Biru capek.. Tiap hari harus menggiring banyak bebek, ngasih makan bebek, pulang pergi bolak-balik naik sepeda... Biru capek, Yah..." keluhku sore harinya, saat kami sekeluarga berkumpul di dipan serambi rumah sambil menyeruput teh hangat buatan ibu.
"Biru mau jajan, nggak?" Tanya Ayah.
"Mau, ayah..."
"Nanti, bebek-bebek itu bertelur. Biru dan abang bisa menjual telur-telur itu, bisa dipakai buat beli jajan, beli buku, dan beli barang-barang bermanfaat lainnya."
Aku mengangguk semangat.
---
Hai, namaku Biru. Aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang manis rupa. Kata Ibu, sih.
Menggiring bebek berjumlah 30 untuk tetap pada lintasannya sama artinya dengan belajar "membersamai" banyak orang, menjadi pemimpin yang "membersamai" supaya tetap pada koridor untuk mencapai tujuan bersama. Memberinya makan tiap hari adalah perwujudan dari belajar bertanggungjawab. Ada pepatah bilang, siapa yang menanam, dia yang akan menuai. Bebek yang telah tumbuh lantas bertelur. Mungkin tanpa ada telur itu uang jajanku dan abang tidak akan bertambah. Hehehe. Bebek-bebek itu hadir bukan tanpa alasan. Ayah mendesainnya sedemikian rupa supaya kami belajar.
Selamat bertumbuh bersama!