"Dua hal yang ndak boleh kamu tinggalkan, Nduk. Sholat dulu sebelum menuntut ilmu disekolah, sama ngaji, supaya hatimu ayem."
Serambi rumah tua berdinding kayu jati selalu menjadi saksi perbincangan kami. Aku dan kakek ku. Setiap hari selepas beliau mengkhatamkan satu juz pukul 02.00 pagi, beliau mengusap ubun - ubunku. mengatakan, "Allah kangen sujudmu, Nduk." aku terbangun, diantarnya ke kiwan untuk ambil wudhlu, kemudian dua rakaat ditambah tiga rakaat, beliau tuntun.
Fajar selalu menjadi saksi ketika kakek dan aku bercengkrama didepan teras rumah, dengan buku digenggamanku. Saat itu aku masih kelas VI SD. Mendekati Ujian Nasional. Aku tidak bisa lepas dari buku - buku itu, entah kenapa. buku yang setiap hari selalu kubaca hingga sampai saat ini aku masih ingat betul dihalaman berapa buku itu membahasan kerusakan glomerulus. Buku itu adalah buku milik bapakku ketika beliau masih SMA. Orang keren tamatan SMA Muhammadiyah Sumberejo itu masih menyimpan buku - bukunya, dan aku menyukai buku - buku itu, buku terbitan Balai Pustaka tahun 1972.
"Hidup itu harus disikapi secara sederhana." timpal kakek.
aku masih menggenggam buku itu dan mendengarkan kakek. matahari mulai kelihatan.
"Mandilah. Majlis ilmu wis ngenteni."