Mengenal apa itu Climate Justice (Keadilan Iklim) dan Conscious Consumers (Konsumen yang Sadar)
Haloha! Apa
kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan selamat. Anyway, beberapa
pekan terakhir banyak berita yang mengabarkan tentang bencana alam. Mostly didominasi
oleh bencana alam hasil aktivitas bawah permukaan bumi (gempa bumi). Tapi beberapa
daerah di Indonesia juga diberitakan sedang dilanda hidrometeorologis berupa banjir.
Selain karena intensitas curah hujan, faktor pendorong terjadinya banjir juga
beranekaragam.
Omong-omong
soal fenomena-fenomena hidrometeorologis, tentu sudah bukan hal baru buat kita.
Hampir semua orang tau bahwa akhir-akhir ini cuaca dan musim sulit diprediksi,
yang mana hal tersebut merupakan imbas secara langsung dari perubahan iklim. Petani
yang mengandalkan kalender musim untuk mengetahui masa tanam juga mulai kesulitan.
Dampaknya apa? Mereka semakin rentan secara ekonomi dan ekologis. Tidak hanya
petani, nelayan maupun masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pesisir juga
merasakan dampak akibat adanya perubahan iklim.
Kalau dipikir-pikir,
ketika kita bicara soal perubahan iklim, menurut teman-teman, siapa yang paling
rentan terdampak?
Saat ini banyak
negara di dunia yang sedang bertumbuhkembang pesat dalam hal industri, automatisasi,
dan teknologi yang juga sedikit banyak menyumbang emisi dan perubahan iklim. Sementara,
di saat yang bersamaan – mungkin juga di sekitar kita, ada petani yang menangis
karena gagal panen, ada nelayan yang tidak bisa memberikan akses pendidikan
kepada anaknya karena hasil tangkapan ikan mulai berkurang, dan ada keluarga di
sekitar wilayah pesisir yang mulai bingung hendak tinggal dimana karena
rumahnya mulai tergenang banjir rob setiap pasang melanda.
berita yang cukup viral beberapa waktu lalu, source: Kompas.com |
Sudah tentu,
non-privileged akan sangat rentan merasakan dampak dari adanya perubahan
iklim ini.
Dari hal
tersebut, maka muncul istilah Climate Justice, atau dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan “keadilan iklim”. Apa itu Climate Justice / Keadilan iklim?
Menurut MIT
Climate Portal, secara sederhana, keadilan iklim adalah prinsip bahwa manfaat
yang diperoleh dari kegiatan yang menyebabkan perubahan iklim maupun beban
dampak perubahan iklim harus didistribusikan secara adil.
Dalam
kacamata tatanan global, keadilan iklim berarti bahwa negara-negara yang
menjadi “kaya” melalui emisi karbon memiliki tanggung jawab besar untuk tidak
hanya menghentikan pemanasan global, tetapi juga membantu negara-negara lain
beradaptasi dengan perubahan iklim dan mengembangkan ekonomi dengan teknologi
tanpa polusi.
Keadilan
iklim juga menuntut keadilan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
lingkungan (environmental decision making). Prinsip ini memusatkan pada mereka
yang paling tidak bertanggung jawab dan mereka yang paling rentan terhadap
krisis iklim sebagai parameter pengambilan keputusan dalam rencana global dan
regional untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini juga berarti mengakui bahwa
perubahan iklim mengancam prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, yang
menyatakan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak yang sama,
termasuk atas pangan, air, dan sumber daya lain yang diperlukan untuk mendukung
penghidupan yang layak.
Saat ini lebih
banyak disebut sebagai keadilan iklim dibandingkan dengan aksi iklim, hal
tersebut berimplikasi pada pembuatan kebijakan, diplomasi, studi akademis dan
aktivisme, dengan memberikan perhatian pada bagaimana respons yang berbeda
terhadap perubahan iklim.
Hmm terdengar
sangat strategis, politis, dan berat ya untuk tatanan orang awam?
Terus,
kita-kita ini apakah bisa mendukung keadilan iklim? Jawabannya: BISA.
Salah satu
upaya untuk mendukung terciptanya keadilan iklim adalah dengan menjadi konsumen
yang sadar dan bijak (conscious consumers).
Apa itu conscious
consumers?
conscious consumers | sc: medium NH Staff
Sederhananya,
perilaku konsumen dalam membeli produk berdasarkan sejauh mana mereka peduli
terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Misal,
ketika memutuskan untuk belanja sayur dan buah. Kita akan memilih untuk belanja
sayur dan buah lokal yang ditanam oleh petani dan memanfaatkan sumberdaya lahan
di sekitar kita. Selain untuk memutar roda perekonomian lokal, secara tidak
langsung kita juga bisa mengurangi “rantai emisi” dari proses distribusi/transportasi
yang dipotong disini (karena beli dari hasil pertanian di sekitar, jadi petani
tidak perlu mendistribusikan dengan rantai panjang melalui berbagai moda
transportasi. Kitanya juga langsung bisa beli haappp di tempat, hemat pula! Hehe)
Atau,
ketika kita memutuskan ke mall, membeli pakaian (pada saat udah butuh banget
ya, bukan cuma karena laper mata hehe), kita bisa memilih tuh, produk mana yang
“bisa bercerita”: dari apa sih bahan pakaian ini, dihasilkannya melalui proses
yang seperti apa, dibuat oleh siapa, dan bagaimana komitmen keberlanjutannya (sustainability
commitment).
Saat ini,
banyak sekali produk-produk yang sudah “mampu bercerita”. Selain tanggungjawab
secara sosial dan lingkungan dari produsen, konsumen dunia saat ini juga sudah semakin
sadar dengan produk-produk yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan. Buktinya,
saat ini beberapa negara di dunia telah membuat peraturan terkait dengan responsible
sourcing untuk produk yang akan masuk atau yang akan mereka jual. Dan komitmen
ini bukan lagi hanya berlaku di satu pihak saja, melainkan mulai diterapkan di
berbagai pihak dan sektor.
Jadi, sudah
siap untuk berproses menjadi konsumen yang sadar dan bijak?
Yuk ceritakan
pengalaman atau rencanamu untuk mewujudkan keadilan iklim melalui conscious
consumer!
Mengenal Apa Itu Transisi Energi dan Hubungannya dengan Kelestarian Lingkungan
Halohaa! Apa kabar teman-teman? Semoga sehat selalu yaa..
Anyway, pernah mendengar tentang “transisi energi” apa belum? Aku yakin istilah ini udah ga asing lagi bagi teman-teman mengingat transisi energi juga merupakan salah satu topik yang dibahas di G20.
Tapi
sebelum membahas lebih detil ke topik itu, hmm.. pernah ga sih teman-teman
disini mengamati langit – misal ketika di Jakarta pada pukul 11 siang, dan pada
saat di daerah pedesaan / pegunungan di jam yang sama. Beda nggak? Yup! Tentu
beda kan…
Perbedaan
kondisi langit selain disebabkan karena kondisi cuaca lokal, salah satunya juga
dapat disebabkan karena polusi udara yang kemudian memberikan kesan langit
menjadi “tidak bersih” akibat sinar matahari tidak dihamburkan sempurna karena
adanya partikel pengotor. Partikel pengotor tersebut bisa berasal dari asap
kendaraan, pembakaran, asap kegiatan industri, dan lain lain.
Nah
darimana asalmula bahan baku “penggerak”nya?
Selama ini
sudah tidak asing lagi bahwa kita menggunakan bahan bakar fosil untuk penghasil
energi, bahkan untuk aktivitas sehari-hari seperti mobilitas. Nah, penggunaan
bahan bakar fosil ini juga menjadi sorotan karena ternyata gas buangannya –
yang memicu peningkatan emisi gas rumahkaca (GRK) menjadi salah satu penyebab
pemanasan global dan perubahan iklim.
Pada Paris
Agreement tahun 2015, pemimpin-pemimpin dunia berkomitmen untuk menahan laju
peningkatan temperature bumi, yang mendorong adanya kebijakan net-zero
emission. International Energy Agency (IEA) menerbitkan roadmap untuk
negara-negara dalam rangka mewujudkan net-zero emission.
Roadmap
tersebut berisi kebijakan kunci yang dapat diimplementasikan untuk mencapai
net-zero emission. Mengingat bahwa sektor energi berkontribusi cukup signifikan
terhadap emisi:
beberapa
contoh implementasi kebijakan diantaranya adalah pengembangan energi terbarukan
secara massif, pengurangan penggunaan pembangkit listrik tenaga fosil, serta
perluasan penggunaaan kendaraan listrik dan biofuel. Hemat kata, kebijakan
transisi energi perlu diimplementasikan disini.
Kemudian
yang menjadi pertanyaan adalah,
Apa itu
transisi energi?
Transisi
sendiri menurut KBBI adalah “Peralihan dari keadaan”, sehingga secara
ringkasnya transisi energi dapat diartikan sebagai peralihan energi. Peralihan
energi dari mana?
Transisi energi (sc: Traction Energy Asia) |
Mengutip
dari Traction Energy Asia, peralihan/transisi energi ini misalkan dari yang
sebelumnya menggunaan bahan bakar kendaraan energi fosil beralih menggunakan
bahan bakar kendaraan dari energi yang “Sebagian fosil (tidak selurunya dari
fosil, misal B-10, B-30, bioavtur 2.4); atau misalnya dari listrik hasil energi
fosil beralih ke listrik dari energi non fosil (seperti dari energi angin, air,
surya, dll).
Nah,
peralihan atau transisi energi ini salah satunya (dan utamanya sih) bertujuan
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan hal ini menjadi salah satu hal
implikatif dengan upaya pelestarian lingkungan. Selama ini kita mengenal upaya
pelestarian lingkungan ((kebanyakan)) hanya terkait sektor kehutanan dan
pengelolaan sampah, seperti deforestasi dan kebakaran hutan serta pembuangan
sampah tidak pada tempatnya. Namun ternyata, sektor energi juga memiliki
signifikansi dalam upaya pelestarian lingkungan.
Pertanyaan
selanjutnya, apa saja upaya yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi positif
dalam pelestarian lingkungan melalui sektor energi?
Beberapa
yang bisa dilakukan antaranya adalah:
- Terlibat dalam pegumpulan limbah rumahtangga untuk bahan baku energi non fosil (misalnya mengumpulkan jelantah),
- Menceritakan praktik baik terkait inovasi pemanfaatan energi terbarukan
- Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,
- Menghemat penggunaan listrik
- Serta mengampanyekan penggunaan produk energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Gimana? Cukup
sederhana dan possible untuk diimplementasikan, kan?
Semoga kita
tetap bisa selalu menjaga lingkungan dan bumi yang kita tinggali, tidak hanya
dari kacamata satu aspek saja, namun juga dari berbagai aspek dan tentu berani
melakukan aksi!
#TransisiEnergy #EcoBloggerSquad #Environment #Sustainability
Super Recommended untuk Kulit Kusam dan Kering! Scarlett Body Serum and Body Cream Happy Series
Halohaa! Apakabar? Semoga sehat dan happy selalu yaa!
By the way, sebagai orang yang cukup aktif fieldwork, business trip, dan sekaligus sering terpapar ruangan ber-AC, aku tuh suka ngerasa kalau kulitku gampang banget keringnya. Dan I realized it since 2019s. beberapa kali nyoba body butter, body cream, perminyakan duniawi, dan semacamnya, rasanya masih sama aja.. kering buanget. Apalagi kalau habis kegiatan outdoor gitu atau terpapar AC yang lebih dari 3 jam. Hmm!
Sebagai pemilik kulit kering, ini memang sangat menantang karena kulit yang kering sering berasosiasi dengan pengelupasan lapisan kulit bagian atas, dan rasanya juga gak halus. Intinya kurang nyaman lah. Sampai pada akhirnya…
Scarlett ngeluarin produk baru yang emang diformulasikan untuk kulit kering/super kering (dan kusam hohoho) by duo combo Body Serum dan Body Cream!
Seperti apa produknya dan kenapa aku bisa sampe se-seneng itu? Check it out~
Scarlett Whitening Body Serum “Happy”
Sesuai nama variannya (Happy), produk ini emang bikin happy guyyz!
Body serum scarlett ini dikemas dalam botol pump vertikal dengan volume 250 ml dan berat kurang lebih 400 gram. Kemasannya berwarna pink-soft agak ke-oren-oren-an, dan dibingkai dengan garis silver yang membawa kesan elegan. Selain itu, botolnya juga dilengkapi dengan cup/penutup bening untuk melindungi produk agar tidak tumpah jugaa. Nah, botol yang digunakan ini jenis PET 1 yaa teman-teman, pastikan kalau sudah habis, botol bekas pakainya dipisahkan ke jenis sampah yang sama atau didaur ulang.
Untuk harganya, dengan Rp.75.000 kamu udah bisa mendapatkan produk ini, plus, karena kemasannya dalam volume yang banyak, jadi bisa lebih hemat karena penggunaannya lebih awet! Oh ya, produk ini sudah BPOM (NA18220105118), halal, dan tidak mempraktikkan animal testing yaa teman-teman!
For the first time, seperti yang aku mention sebelumnya, kalau aku selama ini kesulitan menemukan produk perawatan untuk mengatasi kulit super keringku, akhirnya ketika mencoba produk Scarlett ini… aku langsung jatuh hati! Asieeek!
Ketika aku baca key ingredients-nya, ternyata make sense!
- HYALURONIC ACID, berfungsi untuk menjaga kelembapan kulit dan melembapkan kulit;
- NIACINAMIDE, untuk membantu mencerahkan kulit dan menyamarkan noda gelap pada kulit;
- 5 PHYTO OIL, INI NIH GUYZZ! Membantu melembapkan, menghaluskan kulit, dan merawat kesehatan kulit;
- SHEA BUTTER, udah terkenal banget ini mah… so pasti untuk merawat keremajaan kulit dan membuat kulit terasa lebih kencang;
- GLUTATHIONE, kayaknya ini kandungan wajib di semua produk Scarlett: Membantu meratakan warna kulit
- ALOE VERA EXTRACT, Membantu menyejukkan kulit yang teriritasi ringan; dan
- TITANIUM DIOXIDE untuk melindungi kulit dari efek buruk sinar UV.
Gemana? Mantap kan? Mantap banget atuh!
- Kulitku lebih cerah alami (bersih)
- Lembab dan halus
- Wanginya tahan lama dan nempel terus bahkan sampai sore.
Merawat kulit tubuh dengan happy menggunakan Scarlett “Happy” series: body scrub, shower scrub, and body lotion (product review)
Hai-haaii! Apa kabar? Semoga sehat dan happy selalu yaah!
Ngomong-omong soal “happy”, pernah ga sih, kita mencari cara untuk menemukannya? Di beberapa hal mungkin? Makanan? Benda? Atau yang lainnya?
Kali ini aku mau berbagi tips “happiness” yang aku dapatkan dengan happy: merawat kulit tubuhku.
Yups! Aku enjoy banget kalau lagi selo atau disela-sela kesibukan gitu merawat tubuh. Sesimpel scrubbing dan mandi. Menurutku kegiatan itu selain bermanfaat baik untuk kesehatan dan kebersihan kulit, membersihkan dan merawat kulit tubuh juga bisa menjadi “stress relief”, apalagi kalau produk yang digunakan wangi wangi… hmm… so pasti mood booster banget lah yaa!
Tanpa berlama-lama, intinya aku mau bilang kalau SCARLETT ngeluarin PRODUK BODY CARE BARU!! Yeay! Produk bodycare keluaran terbaru Scarlett ini adalah varian “Happy Series”. Sejujurnya aku ga terlalu paham kenapa dinamai “happy”, tapi ternyata setelah kucoba… emang bikin happy guyyyzz!! Wanginya enaaakkk dan segar!
Ada beberapa jenis produk yang akan aku review di postingan kali ini, yaitu Scarlett Whitening Body Scrub, Scarlett Whitening Shower Scrub, dan Scarlett Whitening Body Lotion. Semuanya varian “Happy” :D
Cuss… langsung aja yaa…
Mengenal Indigenous People (Masyarakat Adat) dan Peranannya dalam Menjaga Lingkungan
Hai haii! apakabar? btw tulisan ini ditulis bertepatan dengan HUT RI ke-77, Happy Independence Day ya!
berbicara soal kemerdekaan, kadang ada hal yang "menggelayut" dan pertanyaan yang sering muncul di kepala. sudahkah kita benar-benar 'merdeka'? atau ternyata hanya segelintir dari kita saja yang terjamin hak-haknya? kita yang tinggal di kota dengan segenap fasilitas yang mumpuni, kita yang menempuh pendidikan formal dan berbicara dengan bahasa internasional, kita... yang ketika melihat dunia luar hanya dalam satu genggaman telepon pintar. hmmm...
bagaimana dengan beberapa dari kita yang tinggal nun jauh disana, tidak terakses secara mudah -- setidaknya semudah kita yang di kota...
teman-teman, pasti disini pernah dengar soal istilah "indigenous people"? pernah dong pasti!
sebenarnya definisi indigenous people yang sering digunakan dalam istilah global -- dalam padanan bahasa Indonesia disini masih banyak memiliki penafsiran yang berbeda-beda. namun, di tulisan kali ini, aku mau mencoba memadankan istilah "indigenous people" dengan terminologi "masyarakat adat".
Apa sih masyarakat adat itu?
berdasarkan definisi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. selain itu, masyarakat adat juga memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.
kebetulan banget, beberapa hari yang lalu, Eco Blogger Squad dan Rumah AMAN menyelenggarakan online gathering membahas seputar topik masyarakat adat. materi disampaikan oleh Kak Mina Setra selaku sekjen Deputi IV AMAN urusan Sosial dan Budaya.
Nah, balik lagi ke topik definisi tadi. selain definisi kerja yang dinyatakan oleh AMAN, terdapat pula definisi lain menurut para ahli. salah satunya menurut Hazairin (1970) yang mendefinisikan masyarakat adat sebagai “Sebuah kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua warganya".
di Indonesia sendiri, populasi Masyarakat Adat cukup tinggi dengan perkiraan mencapai sekitar 40-70 juta jiwa dan tergabung lebih dari 1.100 suku. sayangnya beberapa dari mereka kerap kali mengalami diskriminasi, stigma, kekerasan, dan intimidasi (terutama dalam kasus pembukaan wilayah ekstraksi sumberdaya alam yang mencakup daerah mereka). Secara konstitusional, Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat lewat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, tercantum di dalam Pasal 18B ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” dan Pasal 28I ayat (3)“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban."
RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (Hasil Paripurna DPR, 11 April 2013) menjabarkan mengenai karakteristik masyarakat hukum adat, antara lain:
- sekelompok masyarakat secara turun temurun;
- bermukim di wilayah geografis tertentu;
- adanya ikatan pada asal usul leluhur;
- adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam;
- memiliki pranata pemerintahan adat; dan
- adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
Berdasarkan uraian diatas, salah satu hal yang menarik dan fundamental terkait dengan masyarakat adat adalah "adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, dan sumberdaya alam". masyarakat adat memiliki pengetahuan yang lebih mendalam dan komprehensif tentang wilayah beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. hal ini tentu menjadi suatu hal yang sangat penting, utamanya berkaitan dengan kelestarian alam dan lingkungan.
pengetahuan masyarakat adat mengenai alam dan lingkungannya menjadikan mereka "mengambil secukupnya, melestarikan sebaik-baiknya", karena keberlangsungan hidup dan generasi selanjutnya juga sangat dipengaruhi oleh alam. dalam hal bercocok tanam, masyarakat adat mengetahui musim tanam yang cocok dengan menggunakan sistem kalender tanam tradisional. sementara itu untuk ekstraksi sumberdaya alam seperti tetumbuhan di hutan, masyarakat adat juga mengambil seperlunya untuk kebutuhannya (tidak berlebihan atau transaksional rantai panjang). sehingga pengelolaan sumberdaya alam berjalan seimbang dengan penghidupan (livelihood).
sayangnya, sering kita jumpai masyarakat adat ini sangat rentan mengalami diskriminasi dan intimidasi, terutama terkait dengan pembangunan. beberapa program bertajuk "pembangunan" maupun perluasan ekstraksi sumberdaya alam skala besar tidak jarang menyentuh wilayah adat dan hutan setempat, akibatnya tidak jarang pula dijumpai konflik antara masyarakat adat dan perusahaan. salah satunya masyarakat Dayak Modang Long Wai di Kalimantan dengan salah satu perusahaan sawit.
source: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56293417 |
oleh karenanya, peraturan perundangan yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat menjadi sangat penting. pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapakan bisa menjembatani masyarakat adat dengan Negara. dalam artian pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan kepada masyarakat adat dijalankan oleh Negara dengan peraturan yang jelas, lengkap dan relevan.
“Money, social status, plastic surgery, beautiful houses, powerful potitions – none of these will bring you happiness. Lasting happiness comes only from serotonin, dopamine, and oxytocin.” – Yuval Noah Harari
Di zaman serba digital dan arus informasi yang begitu pesat
saat ini, rasanya banyak ya di antara kita yang sulit mendefinisikan kebahagiaan
dengan sederhana. Beberapa di antara kita mengukur kebahagiaan berdasarkan
pencapaian materi, banyaknya uang yang dihasilkan, status sosial, pasangan yang
rupawan, barang-barang bermerk keluaran terbaru negeri Paman Sam…
Tidak jarang rasa membanding-bandingkan mulai muncul, overthinking
kalau kata anak muda jaman sekarang. Ditambah lagi dengan kesibukan kita
sehari-hari, seperti bekerja.. mengurus keluarga.. dan masih banyak lagi. Perasaan-perasaan
yang membuat diri kita sulit bersyukur dan bahagia tentu seringkali muncul,
kan?
Beberapa hal pasti sudah sering dilakukan, seperti meditasi,
beribadah, work out, dan upaya-upaya menjaga kewarasan lainnya.. tapi,
pernahkah kita coba untuk sejenak keluar, menikmati alam, merasakan angin
berhembus sepoi-sepoi di antara celah telinga dan rambut… menghirup udara segar
di pagi hari ditemani embun dan pepohonan yang rindang…
Hal ini mungkin bukan hal baru bagi kita. Di Jepang sendiri,
ada namanya praktik “wellbeing” yang dikenal dengan shinrin-yoku atau “forest-bathing”,
bukan berolahraga/berlari/semacamnya, simply kegiatan ini dilakukan
dengan hanya berada di alam. Mengoneksikan diri dengan merasakan, mencium,
mengamati, dan mendengarkan apa-apa saja yang ada di lingkungan alam sekitar
kita.
Kegiatan healing ini (kalau anak jaman now mah) bisa
menjadi alternatif untuk “unplug” dan me-refresh pikiran. Tentu, dengan
tidak memerlukan banyak biaya. Cukup dengan menginjakkan kaki kita di alam
terbuka, mematikan gadget, dan menikmati setiap momen yang ada.
Nah, ternyata… ada beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan dengan healing di alam loh! Apa saja ituu?
Menurunkan tingkat stress dan risiko depresi
Sebuah studi di Belanda menunjukkan bahwa menghabiskan waktu
di alam dan melakukan kegiatan seperti berkebun dapat mengurangi tingkat stres
lebih baik dibandingkan dengan kegiatan rekreasi lainnya. Dalam studi tersebut,
satu kelompok orang diminta untuk berkegiatan di dalam ruangan setelah
menyelesaikan tugas yang membuat stres, sementara kelompok lainnya
diinstruksikan untuk melakukan kegiatan berkebun selama 30 menit. Kelompok yang
berkebun tidak hanya melaporkan berada dalam suasana hati yang lebih baik
daripada mereka yang berkegiatan di ruangan, tetapi juga memiliki tingkat
hormon stres kortisol yang lebih rendah.
Membuat kualitas tidur menjadi lebih baik
berada di alam dan terpapar cahaya matahari akan memperngaruhi supply melatonin. Saat kita berada di bawah sinar matahari, melatonin dalam tubuh kita berkurang. Hal ini membantu kita bangun di pagi hari. Nah, tetapi.. dengan tidak adanya sinar matahari, kadar melatonin kita meningkat, kemudian membuat kita mengantuk. Mendapatkan sinar matahari di alam dan hormone melatonin pada porsi yang tepat akan meningkatkan kualitas tidur malam kita.
Menumbuhkan rasa bahagia dan meningkatkan produktivitas
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita-as a humanbeing
dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh tubuh. Tubuh kita
memproduksi “hormon kebahagiaan” seperti serotonin dan oksitosin yang kadarnya
dapat bertambah maupun berkurang. Kurangnya serotonin dan oksitosin ini akan
meningkatkan risiko depresi.
Nah, ternyata paparan sinar matahari langsung dan udara yang
segar dari alam dapat meningkatkan kadar serotonin dan oksitosin di tubuh kita.
Artinya, if we have connected with nature. we have crossed the bridge to
happiness.
Dan ketika kita merasa bahagia, tingkat produktivitas juga
akan menjadi lebih baik, kan? hohoho
Salah satu upaya untuk bergerak dan mendapatkan vitamin D
alami
Nah kalau ini sudah jelas banget ya! Ketika di alam, kita
bergerak bebas dan menikmati paparan sinar matahari alami. Terutama saat
jam-jam pagi, dimana udara masih segar dan cahaya matahari masih belum terlalu
panas/menyengat. By the way kita juga patut bersyukur karena tinggal di wilayah
beriklim tropis. Karena kita bisa mendapatkan paparan sinar matahari sepanjang
tahun 😊
Oksigen yang cukup akan memunculkan perasaan tenang
Tingkat oksigen di otak kita berkaitan erat dengan kadar
serotonin, neurotransmitter yang memengaruhi suasana hati/mood, ingatan,
perilaku sosial, nafsu makan, dan lainnya. Seperti yang disebutkan di awal,
kadar serotonin yang terlalu sedikit dapat memicu stress dan depresi. Menghirup
udara segar dapat membantu mengatur kadar serotonin dan meningkatkan
kebahagiaan maupun well-being. Niscaya privilege “ketenangan” yang dicari oleh
banyak orang itu akan didapatkan! wkwk
Memberikan ruang istirahat untuk pikiran
Otak manusia membutuhkan sekitar 20 persen dari semua energi
yang dihasilkan tubuh, dan kebutuhan ini meningkat 5 hingga 10 persen saat kita
mendapatkan “tekanan”. Namun, saat tubuh beristirahat, otak tidak berhenti
melakukan aktivitas. Ketika kita berada di alam / lingkungan alam yang
tenang—otak kita akan dalam default mode network (DMN). Dimana DMN
ini dikenal juga sebagai sirkuit kompleks komunikasi terkoordinasi antara
bagian-bagian otak dan sangat penting untuk proses berkaitan dengan kesehatan
mental dan membuat kita lebih “mindful”.
Secara tidak kita sadari, alam mem-provide segala hal
yang kita butuhkan, termasuk untuk stress-relief dan menumbuhkan diri yang
lebih positif. Tentunya akan sangat tidak bijak apabila kita tidak bisa menjaga
alam dengan baik.
Ngomong-ngomong soal menjaga alam, Laleilmanino featuring
Chicco Jerikho, Hivi! & Sheila Dara baru merelease lagu terbaru persembahan
untuk alam! Judulnya adalah “Dengar Alam Bernyanyi”. Kamu juga bisa
mendengarkan disini.
Sebagian royalti akan disumbangkan untuk kegiatan konservasi
dan restorasi hutan hujan tropis di Indonesia lhoh! Atau, kalau mau donasi
langsung juga bisa di link ini ya!
Mari jaga alam, biarkan dia lestari, agar tetap bisa
bernyanyi!
Referensi:
https://time.com/5259602/japanese-forest-bathing/
https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/serotonin-the-natural-mood-booster
https://www.mentalfloss.com/article/60632/11-scientific-reasons-why-being-nature-relaxing
https://adventuretogether.com/8-surprising-reasons-why-nature-is-the-best-medicine/
https://pittsburghparks.org/why-nature-is-good-for-mind-and-body/
*semua foto dalam tulisan ini berasal dari dokumentasi pribadi